Rabu, 23 Desember 2009
Pas Foto Merah Putih
Siluet mega berwarna merah
Terlihat indah di nuansa tenggelamnya fajar
Riuh ramai sorak pemuda
Bersaing dengan gema adzan di sudut kota
Mereka tiada bergeming
Gelapnya malam kini tlah kalah oleh pendar lampu
Membuai segolongan pemuda borju dalam gemuruh musik diskotik
Hingar bingar dan hentakannya semakin menggila
Terus dan terus..
Hingga fajar menyingsing
Dan kini..
Matahari tlah tampak tersenyum cerah
Menghangatkan semangat seorang pemulung tua
Mengais sampah tuk menyambung hidup
aahh...
Beginikah negeriku?
Beginikah potret pemuda bangsaku?
sakit...
Bangsa ini sedang sakit
Dan entah kapan sakit ini mampu terobati
Pemuda Al-Baqarah
Senantiasa ku putar
Dua rekaman jejak peninggalanmu
Saat kita dalam kondisi terburuk
Saat aku belum berani berkeras dengan hatiku
Semua masih belum berubah
Seperti saat pertama kali ku dengar tawa dan lantunan Al-Baqarah dari bibir manismu
Saat-saat ku coba membaca hatimu dalam diammu
Saat-saat ku terpesona pada tiap tawamu
Kini aku hanya bisa berdoa
Moga Ia senantiasa melimpahkan rahmat-Nya bagimu
Semua masih seperti dulu
Hatiku masih merindumu
Sajak Muhasabah
Gerimis hujan
Melempar nada indah pada lantunan angin malam
Mendekapku pada dunia tanpa batas
Bermuhasabah dan mengadu pada Sang Masa Pemilik
Pengembaraanku terhenti
Melihat diri terlempar dalam kobaran api maha dahsyat
Terlempar dengan badan yang tak lagi utuh
Sakit
Jeritku tak kuasa menahan tiap jilatan api yang membakar tubuh
Pada siapa ku bisa mengadu?
Bila ini adalah hukuman dari Tuhanku
Slide parade hidupku berputar
Menyisakan tangis penyesalan
Laa haula walaa quwwata illa billah
Jangan biarkan diri ini hidup dalam kesombongan ya Robb..
Sungguh hamba hanya makhluk dhoif penuh dosa
Namun tiada lelah memohon surga-Mu
Senin, 21 Desember 2009
Nasihat Separuh Diri
Aku menyadari bahwa kini tak seperti dulu
Keceriaan itu hilang termakan pilu
Sinar di matanya kini makin meredup
Berganti gelap mendung di langit hati
Hatinya menangis
Lantaran cinta yang tak mampu ia tempatkan
Karena rindu yang tak mampu ia bendung
Karena ia tak tau mesti berbuat apa
Sampai kapan Ukhti..?
Kapan kau perlihatkan lagi tawa ceriamu
Kapan ku bisa melihat sinar di matamu
Cukupkanlah Tuhanmu bagimu
Moga ia yang kau damba benar-benar yang terbaik bagimu
Amin
Dilema
Sesak menahan rasa yang tak jua mereda
Semakin ku redam, rasa itu semakin menggeliat kuat
Memeras air mata kerinduan
Menyayat hati yang rapuh
Bagaimana aku bisa membuang rasa?
Karena menikmatinya aku tak bisa
Bagaimana cara ku tuk membuang rindu?
Bila separuh hatiku berkata mau
Aku sekarat
Terjebak pada perdebatan hati dan pikiran
Melemah...
Lalu mati...
Jumat, 11 Desember 2009
Berkilahnya Lidah
Tlah lama ku bersandar pada dinding kata
Yang lambat laun warna merahnya mulai meluntur
Tertimpa warna hitam dari tiap mulut sang pembawa kabar
Semua kini terlalu rumit
Kebenaran susah dicari
Taktik dan intrik tlah merajai
Duhai lidah
Kau memang dicipta tanpa tulang agar mudah berkilah
Tapi bukan tuk sebuah kebohongan
Melainkan tuk sebuh kebenaran
Yang lambat laun warna merahnya mulai meluntur
Tertimpa warna hitam dari tiap mulut sang pembawa kabar
Semua kini terlalu rumit
Kebenaran susah dicari
Taktik dan intrik tlah merajai
Duhai lidah
Kau memang dicipta tanpa tulang agar mudah berkilah
Tapi bukan tuk sebuah kebohongan
Melainkan tuk sebuh kebenaran
Jumat, 04 Desember 2009
Gadis Kecil itu Bernama Ane
Senyum merekah di bibirnya
Pipi kekanakannya menggemaskan tiap pasang mata
Mata tajamnya menyiratkan kepandaian
Ia lincah, dan tawanya begitu renyah terdengar
Gadis kecil itu bernama Ane
Dibalur jilbab putihnya, ia tegar menjalani hidupnya
Mungkin tidak sesempurna yang lain
Karena tiada lagi Bunda bersamanya
Tiada saudara
Yang ada hanya Papah
Orang yang menemani gadis ini kemanapun
Tiada waktu tuk mengeluh baginya
Karena hidup ini musti terus berjalan
Tuhan,
Tolong jadikan Ane sebagai muslimah beriman
Yang senantiasa kuat memegang agama-Mu
Amin
Kamis, 03 Desember 2009
Kami Sekarat
Kami Sekarat
Perut kami buncit
Bukan karena kami banyak makan
Tapi karena kami tak bisa makan
Tega sekali kalian
Menjadikan kami mesin uang berkedok bantuan
Tapi mana?
Kami masih begini
Semakin sekarat
Wahai Tuan nan agung
Lelah kami mengaharap
Kalian tak lebih dari keledai dungu tak berotak
Tak pantas kalian menjadi pemimpin
Renungan Hari Lahir
Syukur
Sakit adalah nikmat
Sehat juga adalah nikmat
Susah adalah nikmat
Senang juga adalah nikmat
Nafas ini, pengliahatan, pendengaran, penciuman
Lapar, haus, kenyang
Saudara, cinta, dan sahabat
Maka nikmat Tuhan mu yang mana lagikah yang kan kau dustakan?
Terkutuk bagi jiwa-jiwa yang tlah kufur
Karena adzab-NYA sungguh teramat pedih
Dan kesenangan yang bertambah hanya bagi mereka yang bersyukur
Minggu, 22 November 2009
Pendusta
Ia tlah membuat tameng semu
Sekilas tamak kuat
Namun hanya bayangan
Tak berfikirkah dirimu kawan?
Tameng semu itu tak dapat menahan lemparan panah dari perang yang kau buat
Tak takutkah dirimu kawan?
Akan adzab Tuhan lantaran kebohongan dan kemunafikkanmu
Di sini
Tiada tempat lagi bagi dirimu
Wahai sang pendusta
Sekilas tamak kuat
Namun hanya bayangan
Tak berfikirkah dirimu kawan?
Tameng semu itu tak dapat menahan lemparan panah dari perang yang kau buat
Tak takutkah dirimu kawan?
Akan adzab Tuhan lantaran kebohongan dan kemunafikkanmu
Di sini
Tiada tempat lagi bagi dirimu
Wahai sang pendusta
Pembalasan Baik
Pusaran angin datang
Membelah tirai yang menyambut indah bak tarian seorang dewi naga
Mendatangkan jutaan tetes air
Menjadi obat dari setiap kejenuhanku
Membelah tirai yang menyambut indah bak tarian seorang dewi naga
Mendatangkan jutaan tetes air
Menjadi obat dari setiap kejenuhanku
Penantang Tuhan
Gelegar gemuruh berarak-arak
Laksana kilat berombak yang siap menghantam batu karang
Pekatnya malam tlah melenakan orang-orang musrik
Hingga tiada tampak adzab yang kan meluluhlantakkan kesombongan mereka
"sesungguhnya kami adalah orang-orang yang dzalim..
Wahai Dzat yang merajai bumi seisinya, berikanlah kesempatan bagi kami tuk bertobat.."
Tangis sesal tiada lagi terdengar
Sungguh akhir yang mengenaskan bagi para penantang Tuhan
Laksana kilat berombak yang siap menghantam batu karang
Pekatnya malam tlah melenakan orang-orang musrik
Hingga tiada tampak adzab yang kan meluluhlantakkan kesombongan mereka
"sesungguhnya kami adalah orang-orang yang dzalim..
Wahai Dzat yang merajai bumi seisinya, berikanlah kesempatan bagi kami tuk bertobat.."
Tangis sesal tiada lagi terdengar
Sungguh akhir yang mengenaskan bagi para penantang Tuhan
Rabu, 18 November 2009
Gor Susu
Pagi menjemput...
Purwokerto tertutup kabut pagi ini
Aroma embun merasuk hingga palung jiwa..
Ohh.. Begitu damainya pagi ini
Riuh tawa terdengar dari para pejalan kaki
Tua-muda tak ada beda
Tampak bersemangat berjalan cepat
Saling bertegur sapa satu sama lain
Yah, tiada yang bermuka masam
Rasa bahgia terpancar dari senyum-senyum yang berkembang
Mengingatkanku akan nikmat bersilaturahmi
Nikmatnya tersenyum
Gor Susu
Disana ku menemukan satu lagi pelajaran berarti
Purwokerto tertutup kabut pagi ini
Aroma embun merasuk hingga palung jiwa..
Ohh.. Begitu damainya pagi ini
Riuh tawa terdengar dari para pejalan kaki
Tua-muda tak ada beda
Tampak bersemangat berjalan cepat
Saling bertegur sapa satu sama lain
Yah, tiada yang bermuka masam
Rasa bahgia terpancar dari senyum-senyum yang berkembang
Mengingatkanku akan nikmat bersilaturahmi
Nikmatnya tersenyum
Gor Susu
Disana ku menemukan satu lagi pelajaran berarti
Selasa, 17 November 2009
Suara Hati
Sejenak ku terdiam
Pikiran tlah terbang meninggi dengan sayap rapuhnya
Menukik..
Dan melihat sketsa alam pikiran dengan jarak yang lebih jauh
Hatiku teriris..
Perih..
Betapa mata, lisan, telinga, kaki, tangan
Dan semua bagian tubuh tlah banyak berbuat maksiat
Allah..
Masihkah ada maaf untuk diri yang hina ini..?
Sabtu, 07 November 2009
Akhir yang Menjadi Awal
Deg dug..
Deg dug..
Deg dug..
Suara degup jantungku keras terdengar
Rasa waswas dan khawatir tlah menjalar ke seluruh badan
Deg dug..
Deg dug..
Deg dug..
Horeee.. Horeee...
Tak lagi berbeda dengan orang gila
Aku bersorak riang
Hingga teringat tuk segera bersujud syukur karena lagi-lagi Allah memberi tanda cinta
Aku menemukannya..
Apa yang selama ini tiada lelah ku minta
Manis, lembut, kuat..
Terang dan hangat
Ini sebuah akhir dari pencarian
Namun menjadi awal dari gairah hidup
Deg dug..
Deg dug..
Deg dug..
Suara degup jantungku keras terdengar
Dan aku bahagia dengan ini..
Sketsa Rakyat Jelata
Jangan dekat-dekat aku. Politik itu hanyalah kursi yang direbut-rebut.
Politisi hanyalah pengasah-pengasah pisau. Untuk dihujamkan ke perut orang...
Aku hanya butuh makan dan sedikit ketenangan. Anakku juga hanya butuh susu dan makanan tambahan.
Pidatomu tak membuatku kenyang. Narasimu tak membuat mataku gampang terpejam...
Saat kampanye. Saat kau tipu aku dengan rayuan-rayuanmu...
Aku hanya orang kecil yang sejak dulu dibuang-buang. Dan kau janji akan mengentaskanku dari kemiskinan...
Akupun slalu mencoba paham. Perjuangan memang berumur panjang. Tapi apakah kau juga berjuang?..
Jika perjuangan memang penuh kesusahan, mengapa perutmu kian buncit saja?
Jika perjuangan memang banyak penderitaan, mengapa badanmu kian gemuk saja?..
Sudahlah, jangan dekati aku lagi. Aku ingin hidup apa adanya. Tidak makmur juga tidak apa-apa. Asalkan ketidakmakmuran juga dirasakan semua orang. Tetap miskin juga tak apa-apa. Asalkan kemiskinan ini tidak direkayasa.
Jangan dekat-dekat aku. Biarkan aku tetap bernama rakyat.
Sketsa Wakil Rakyat
"Saudara jangan memprovokasi
Kami ini terus berjuang sambil duduk di kursi
Saya kira yang terjadi adalah mispersepsi atau miskomunikasi
Masing-masing kita punya peran sendiri-sendiri
Mari kita galang lagi kekuatan
Bangsa kita kini sedang dilanda berbagai bencana
Jangan kita menambah-nambah keruhnya suasana
Berpikirlah dengan tenang
Bertindaklah sesuai hati nurani
Tak mungkin rakyat kami khianati
Tenanglah
Bersabar
Sambil berdoa kepada Tuhan
Jangan main hakim sendiri
Nanti semua akan selesai juga..."
Dan sebagainya. Dan seterusnya.
Selesai.
....
Pada puisi, ijinkan aku ayah, bercerita tentang gerimis yang mengiringi kepergianmu atau hujan yang membasahi pilar nisanmu.
Pohon kamboja mulai meranggas meski bunga kecil berteduh dibawah daun-daun kering..
Pada puisi, aku datang ayah, bukan hendak menggugat takdir kematianmu atau menghujat sang pemilik maut.
Kali ini aku ingin katakan, kepergianmu adalah pelajaran tanpa kamus. Perenungan panjang untuk dipahami bahwa hidup adalah pembuktian tuk wujudkan syukur dan sabar.
Pada puisi, aku kan kembali menemuimu ayah, lewat goresan pena yang mengajariku tentang arti kematian.
Bila esok tlah ku temukan muara kasihNYA yang tak bertepi, akan ku ceritakan kembali 10 malam kepergianmu dan 10 bunga yang masih berteduh dibawah pohon kamboja..
Pohon kamboja mulai meranggas meski bunga kecil berteduh dibawah daun-daun kering..
Pada puisi, aku datang ayah, bukan hendak menggugat takdir kematianmu atau menghujat sang pemilik maut.
Kali ini aku ingin katakan, kepergianmu adalah pelajaran tanpa kamus. Perenungan panjang untuk dipahami bahwa hidup adalah pembuktian tuk wujudkan syukur dan sabar.
Pada puisi, aku kan kembali menemuimu ayah, lewat goresan pena yang mengajariku tentang arti kematian.
Bila esok tlah ku temukan muara kasihNYA yang tak bertepi, akan ku ceritakan kembali 10 malam kepergianmu dan 10 bunga yang masih berteduh dibawah pohon kamboja..
Rindu
Rasa
Hampa..
Kosong..
Yang terasa hanya kesunyian..
Tidak pula bahagia, tidak pula pilu..
Ini sesuatu yang salah!! Bukankah tidak seharusnya begini?
Hatiku nyaris mati,, semua terasa hambar.. Semua ku lakukan hanya sebatas formalitas..
Rasa,,
hati ini hampir mati.. Sakit ini telah sebegitu meradang..
Rasa.. Aku merindukannya..
Langganan:
Postingan (Atom)